Analisis Persamaan dan Perbedaan Sistem Ekonomi Tiongkok dengan Indonesia
Oleh: Hadi Hartono
Pendahuluan
Sistem ekonomi bukan sekadar kerangka pengelolaan sumber daya, melainkan cerminan sejarah, ideologi, hingga strategi bertahan hidup sebuah negara di tengah globalisasi. Tiongkok dan Indonesia adalah dua negara Asia dengan posisi ekonomi strategis, yang menarik untuk dikaji karena keduanya menerapkan sistem ekonomi campuran, namun dengan dinamika yang sangat berbeda.
Latar Belakang Sejarah Ekonomi
Tiongkok, yang pasca-Revolusi 1949 mengadopsi ekonomi sosialis ketat, mulai bertransformasi lewat kebijakan “Reformasi dan Keterbukaan” yang diinisiasi Deng Xiaoping pada 1978. Sementara Indonesia, sejak era Orde Lama telah mewarisi sistem kolonial, yang kemudian dirombak Soekarno menjadi ekonomi terpimpin dan berlanjut pada liberalisasi pasar secara bertahap di bawah Soeharto lewat program deregulasi dan privatisasi BUMN pada 1980-an.
Persamaan Fundamental: Sistem Ekonomi Campuran
Baik Tiongkok maupun Indonesia menerapkan sistem ekonomi campuran. Keduanya tidak murni kapitalis maupun sosialis, melainkan menggabungkan peran negara dan mekanisme pasar. Pemerintah kedua negara mengintervensi pasar melalui kebijakan fiskal, moneter, dan regulasi industri strategis. Negara menjadi wasit sekaligus pemain, demi memastikan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.
Perbedaan Paradigmatik: Negara vs Pasar
Di Tiongkok, negara memegang kontrol dominan atas aset-aset utama. Sektor-sektor vital seperti energi, perbankan, telekomunikasi, dan transportasi dikuasai oleh perusahaan milik negara (State-Owned Enterprises/SOE). Sebaliknya, di Indonesia, privatisasi BUMN berjalan lebih agresif dan struktur penguasaan pasar lebih berpihak pada oligarki swasta. Sektor perbankan dan properti di Indonesia cenderung liberal, kendati pemerintah tetap mengatur batasan tertentu.
Perbedaan Model Pertumbuhan Ekonomi
Tiongkok memanfaatkan model pertumbuhan berbasis ekspor dan investasi infrastruktur masif sebagai mesin penggerak ekonominya. Zona Ekonomi Khusus (ZEK) seperti Shenzhen menjadi contoh kebijakan yang sukses mengundang investasi asing. Indonesia cenderung lebih mengandalkan konsumsi domestik sebagai penopang pertumbuhan, sementara ketergantungan pada ekspor sumber daya alam masih tinggi.
Politik Ekonomi dan Arah Kebijakan
Tiongkok menganut ekonomi berorientasi perencanaan jangka panjang (Five-Year Plan) dengan kontrol politik yang kuat dari Partai Komunis. Indonesia cenderung fleksibel, meskipun memiliki rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN), kebijakan ekonomi sering berubah sesuai kondisi politik dan pemimpin yang berkuasa. Hal ini menciptakan gap dalam kontinuitas kebijakan.
Perbedaan Kelas Sosial dan Distribusi Kekayaan
Model ekonomi Tiongkok mendorong pertumbuhan kelas menengah secara agresif melalui industrialisasi dan digitalisasi. Namun kesenjangan kaya-miskin tetap tinggi, terutama antara wilayah pesisir dan pedalaman. Indonesia menghadapi masalah serupa, meski dengan struktur yang berbeda: ketimpangan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Peran Global dan Hubungan Ekonomi Internasional
Tiongkok telah memposisikan diri sebagai kekuatan ekonomi global dengan inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI) dan keanggotaannya di WTO yang strategis. Indonesia lebih banyak berperan sebagai pasar dan penyedia komoditas, serta mitra investasi, dalam hubungan internasional. Tiongkok mendikte pasar lewat kapasitas produksi dan inovasi, Indonesia lebih pasif sebagai price taker.
Ideologi Ekonomi di Balik Kebijakan
Meski secara kasatmata Tiongkok terkesan liberal, ideologi dasarnya tetap terikat pada prinsip komunisme dengan adaptasi pasar sosialis. Indonesia sejak reformasi 1998 semakin condong ke arah kapitalisme pasar bebas, namun dengan ciri khas: adanya dominasi kelas pengusaha-elit-politik yang membentuk “kapitalisme birokrat”.
Kesimpulan
Secara garis besar, Tiongkok dan Indonesia memiliki sistem ekonomi campuran dengan penekanan yang berbeda: Tiongkok bertumpu pada kontrol negara dengan cita rasa sosialis yang pragmatis, sementara Indonesia mengarah pada pasar bebas dengan intervensi yang sering kali ambigu dan inkonsisten. Persamaan keduanya terletak pada peran pemerintah sebagai aktor utama ekonomi, namun perbedaannya terletak pada siapa yang menguasai alat produksi, sejauh mana pemerintah mengatur pasar, dan seberapa kuat visi jangka panjang yang diterapkan.