"Konoha Desa Berbau Pakan Ternak"
Desa Konoha dulu terkenal dengan sawahnya yang luas, udaranya yang sejuk, dan suara burung yang bangun lebih pagi daripada ayam. Tapi itu dulu. Sekarang, desa itu terkenal karena satu hal lain: bau menyengat yang menusuk dari pabrik pakan ternak di ujung jalan poros, yang seperti ditanam dengan sengaja untuk merusak ketenangan hidup orang kecil.
Pabrik itu berdiri megah, dengan logo perusahaan multinasional yang konon punya cabang di 32 negara. Warnanya biru langit dengan slogan “Menyehatkan Dunia, Satu Pakan Sekali Waktu.” Ironis, karena di desa Konoha, dunia justru menjadi semacam neraka aromatik setiap kali angin berhembus dari arah pabrik.
Warga Konoha sudah tak lagi menghitung hari dengan kalender. Mereka menghitung dengan penciuman. Jika pagi-pagi hidung sudah dicekik oleh aroma fermentasi busuk, mereka tahu: “Ah, sudah waktunya produksi penuh.” Beberapa warga bahkan mengembangkan kemampuan seperti anjing pelacak: bisa membedakan hari kerja dan akhir pekan dari seberapa tajam aroma tengik yang menyerang paru-paru.
Yanto, petani jagung yang ladangnya berbatasan langsung dengan pagar belakang pabrik, kini hidup berdampingan dengan bau yang lebih setia dari istrinya. Setiap pagi, ia membuka jendela rumah bukan untuk menyambut mentari, tapi untuk mengecek seberapa parah hari itu akan mencium bau seperti gabungan antara bangkai tikus, limbah ikan, dan amonia yang tidak punya etika.
“Itu bukan udara, itu penghinaan,” kata Yanto suatu sore, ketika wartawan kampus dari kota datang untuk liputan tugas akhir. Wartawan itu memakai masker tiga lapis, sementara Yanto mengisap kretek dengan santai, seolah paru-parunya sudah dilatih menghadapi kiamat.
Bukan hanya udara yang tercemar. Saluran air yang dulunya mengalir jernih seperti lagu nostalgia kini berubah warna. Tak ada ikan yang tinggal di sana lagi, kecuali satu-satunya yang ditemukan mati mengambang oleh anak kecil bernama Rina, yang lalu diberi nama "Nemo Terakhir".
“Kenapa airnya bau?” tanya Rina waktu itu.
“Karena pabrik itu pipis sembarangan,” jawab ibunya, dengan nada yang entah menjelaskan atau mengumpat.
Yang membuat semuanya lebih menyakitkan adalah bentuk “tanggung jawab sosial” yang ditawarkan pabrik. Setiap bulan, satu Rukun Tetangga akan menerima paket sembako. Isinya standar: 5 kg beras, 1 liter minyak goreng, 3 bungkus mie instan, dan kadang-kadang bonus teh celup. Warga lalu bergiliran seperti anak sekolah yang dapat jatah naik ayunan.
Tiap RT harus menunggu gilirannya, artinya satu rumah hanya dapat jatah setiap empat bulan sekali. Bayangkan: satu keluarga dicekoki bau busuk setiap hari, tapi hanya diberi sekarung beras tiap pergantian musim. Ini bukan CSR, ini permen buat bocah yang rewel. Sementara itu, manajemen pabrik berdasi dan berdandan, berbicara tentang “good corporate governance” dan “sustainability” dalam rapat daring mereka dari gedung ber-AC.
Tak ada yang berbicara tentang ISO 26000 di sini, standar tanggung jawab sosial yang seharusnya dipatuhi. Kalau dibaca baik-baik, standar itu bicara tentang keterlibatan masyarakat, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Tapi tampaknya manajemen lebih memilih membaca laporan keuntungan triwulan yang jumlahnya bisa membeli seluruh tanah desa Konoha.
Beberapa kali warga mengeluh ke kepala desa. Tapi kepala desa lebih memilih mendiamkan—entah karena sudah dapat jatah kompensasi khusus, atau karena takut nama desanya dicoret dari daftar “desa binaan mitra industri”. Maka keluhan itu berubah menjadi lelucon. Dan lelucon menjadi kebiasaan. Sampai bau itu menjadi bagian dari identitas, seperti halnya genteng yang bocor atau ayam tetangga yang berkokok di waktu salah.
Ada juga aktivis lingkungan dari kota yang pernah datang, membawa kamera, spanduk, dan idealisme. Mereka berdiri di depan pabrik, teriak-teriak soal hak hidup sehat, sambil live di media sosial. Tapi setelah satu minggu, mereka pergi, dan bau itu tetap tinggal.
Warga tak pernah tahu nasib laporan mereka. Apakah masuk ke dinas lingkungan? Atau nyangkut di laci birokrasi yang penuh dokumen tak dibaca? Tapi mereka tahu satu hal: bau itu semakin parah, dan sembako tak pernah cukup untuk menutup hidung.
Lalu muncul ide gila dari Pak Sarto, mantan guru SD yang kini jadi pemulung karena pensiunan tak cukup untuk beli obat asma. “Kenapa kita gak bikin parodi saja?” katanya. Maka warga sepakat, dan dalam acara tujuhbelasan, mereka tampil dengan drama berjudul “Sembako Cinta dari Pabrik Pakan”. Pemerannya adalah Pak Lurah yang disuap, warga yang pingsan karena bau, dan bos pabrik yang muncul dari balik asap dry ice sambil melemparkan mie instan ke kerumunan.
Penonton tertawa. Tapi tawa itu terdengar getir. Seperti ingin menangis tapi tak ada air mata tersisa karena terlalu lama tinggal di desa yang perlahan kehilangan harapan.
Kini, nama “Konoha” di peta masih tertulis manis. Tapi bagi warganya, Konoha sudah berubah menjadi desa dengan aroma permanen. Bukan aroma nostalgia atau kenangan masa kecil, tapi aroma kesewenang-wenangan yang disamarkan dengan sembako. Seperti orang kaya yang menyiram sampah ke rumah tetangga, lalu berkata, “Tapi kan saya sudah kasih sabun cuci…”
Dan setiap kali ada rapat perusahaan, manajemen pabrik pasti membahas laporan kepuasan masyarakat. Di layar presentasi, mereka menunjukkan data survei: “80% warga puas dengan program CSR.” Padahal cuma Charity.
Tentu saja, karena di desa Konoha, satu karung beras kadang lebih bernilai daripada satu helaan napas yang tidak menyakitkan.