Kabupaten Tangerang Undercover: Menelusuri Dinamika Sosial, Ekonomi, dan Urbanisasi

Hadi Hartono
By -

Kabupaten Tangerang Undercover: Menelusuri Dinamika Sosial, Ekonomi, dan Urbanisasi

Oleh: Hadi Hartono


Abstrak

Kabupaten Tangerang, sebagai bagian dari wilayah megapolitan Jabodetabek, mengalami transformasi signifikan dalam dua dekade terakhir. Urbanisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan penduduk yang cepat membawa konsekuensi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang kompleks. Artikel ini mencoba mengulas sisi-sisi tersembunyi (undercover) dari Kabupaten Tangerang, mulai dari ketimpangan sosial, tekanan ekologis, hingga tantangan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan ilmiah populer, tulisan ini mengupas berbagai dinamika yang kerap luput dari sorotan publik.



1. Pendahuluan

Kabupaten Tangerang dikenal luas sebagai pusat industri dan permukiman penyangga ibu kota. Di balik kemajuan pembangunan fisik, terdapat dinamika sosial dan ekonomi yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Istilah "undercover" dalam konteks ini merujuk pada aspek-aspek tersembunyi yang jarang terangkat dalam wacana pembangunan daerah, namun sangat menentukan kualitas hidup masyarakat.




2. Dinamika Urbanisasi: Kota Tanpa Wajah?

Pertumbuhan pesat kawasan permukiman seperti BSD City, Gading Serpong, dan Lippo Karawaci telah mengubah wajah Kabupaten Tangerang. Namun, pertumbuhan ini seringkali tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur sosial yang merata. Urbanisasi tanpa kontrol menciptakan "kota tanpa wajah" – ruang hidup yang seragam, minim identitas lokal, dan tersegmentasi secara sosial antara kawasan elite dan kantong-kantong kemiskinan.


Menurut data BPS Kabupaten Tangerang (2023), sekitar 60% penduduk tinggal di wilayah suburban yang berkembang pesat namun mengalami tekanan infrastruktur dasar seperti air bersih, transportasi publik, dan ruang terbuka hijau. Hal ini menjadi tantangan serius dalam perencanaan tata ruang jangka panjang.



3. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi: Dua Dunia dalam Satu Wilayah

Kabupaten Tangerang menunjukkan paradoks sosial-ekonomi yang mencolok. Di satu sisi, kawasan industri dan properti tumbuh subur, menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, buruh pabrik dan pekerja informal masih menghadapi upah minim, minimnya jaminan sosial, serta perumahan yang tidak layak.


Studi oleh Lembaga Penelitian SMERU (2022) menunjukkan bahwa indeks gini di wilayah Tangerang mencapai 0,42, menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi. Ketimpangan ini diperparah oleh perbedaan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan antar kecamatan.



4. Masalah Lingkungan: Krisis yang Mengendap

Industrialiasi di Kabupaten Tangerang turut menyumbang pada pencemaran air, udara, dan penurunan kualitas tanah. Sungai Cisadane, sebagai sumber air utama, kini menghadapi beban pencemaran limbah industri dan domestik. Selain itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman menurunkan daya dukung lingkungan.


Penelitian dari Universitas Indonesia (2021) menyatakan bahwa kualitas air Sungai Cisadane di wilayah Tangerang menunjukkan kandungan BOD (Biological Oxygen Demand) yang melebihi ambang batas baku mutu air kelas II, menandakan pencemaran serius yang mengancam ekosistem dan kesehatan warga.



5. Ketahanan Sosial dan Kearifan Lokal yang Terpinggirkan

Di tengah derasnya arus modernisasi, banyak komunitas lokal yang kehilangan ruang dan identitas. Tradisi masyarakat adat Baduy Luar yang masih bertahan di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Tangerang mengalami tekanan dari ekspansi ekonomi modern. Begitu pula dengan tradisi lokal seperti mapag cai dan rukun warga yang makin terkikis oleh individualisme kota.


Padahal, menurut Antropolog Koentjaraningrat (2009), kearifan lokal memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sosial dan kohesi komunitas di tengah perubahan sosial yang cepat.



6. Arah Pembangunan Berkelanjutan: Solusi atau Ilusi?

Pemerintah Kabupaten Tangerang telah merancang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang mengusung prinsip pembangunan berkelanjutan. Namun, realisasi di lapangan masih menghadapi kendala seperti lemahnya koordinasi antarinstansi, keterbatasan data spasial, dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan.


Pakar tata kota dari ITB, Ir. Bambang Susantono (2022), menyebutkan bahwa tanpa keterlibatan aktif warga dan transparansi data, konsep smart city atau green city hanya akan menjadi jargon politik, bukan solusi nyata.



7. Kesimpulan

Kabupaten Tangerang bukan sekadar daerah penyangga ibu kota; ia adalah cermin dari kompleksitas pembangunan di Indonesia. Di balik gedung-gedung tinggi dan kawasan industri, tersembunyi realitas sosial, ekonomi, dan lingkungan yang perlu diungkap dan diatasi bersama. Mengungkap sisi undercover dari Kabupaten Tangerang bukan untuk menciptakan sensasi, melainkan sebagai langkah awal menuju kebijakan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.



Referensi

  • Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. (2023). Kabupaten Tangerang dalam Angka 2023.

  • SMERU Research Institute. (2022). Analisis Ketimpangan Sosial di Kawasan Urban Pinggiran Jabodetabek.

  • Universitas Indonesia. (2021). Kajian Kualitas Air Sungai Cisadane di Wilayah Tangerang.

  • Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!