Kartini dalam Kacamata Gen Z: Relevansi Emansipasi di Era Digital dan Kesadaran Sosial
Oleh: Hadi Hartono
Pendahuluan
Di tengah hiruk-pikuk peradaban digital, ketika generasi Z tumbuh dengan gawai di tangan dan informasi yang tak terbendung, nama Kartini tetap mencuat sebagai simbol perjuangan perempuan. Namun, Kartini bukan sekadar simbol sejarah atau nama jalan. Ia adalah representasi dari keberanian intelektual dan spiritual dalam menantang ketidakadilan sosial. Artikel ini bertujuan untuk meninjau ulang gagasan dan perjuangan Kartini melalui sudut pandang Gen Z—generasi yang tumbuh dalam era kesadaran sosial, teknologi digital, dan gelombang feminisme baru.
Kartini dalam Konteks Sejarah
Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Sebagai perempuan pribumi dari kalangan bangsawan Jawa pada masa kolonial Belanda, ia hidup dalam sistem patriarki yang mengekang kebebasan perempuan. Lewat surat-suratnya kepada sahabat pena di Belanda, Kartini mengungkapkan keresahan, impian, dan gagasannya tentang pendidikan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Surat-surat itu kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam buku "Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang). Di dalamnya, tampak jelas Kartini bukan hanya peduli pada nasib perempuan, tetapi juga pada struktur sosial yang timpang, kemiskinan, dan kolonialisme. Kartini telah melampaui masanya dengan pemikiran yang kritis dan humanistik.
Gen Z dan Lanskap Sosial Baru
Gen Z adalah generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka dibesarkan dalam ekosistem digital dan globalisasi, dengan akses cepat terhadap informasi, pendidikan, dan jaringan sosial. Generasi ini dikenal karena karakteristiknya yang lebih terbuka terhadap perbedaan, melek isu sosial, serta cenderung lebih vokal dalam menyuarakan ketidakadilan.
Berbagai gerakan sosial seperti #MeToo, #BlackLivesMatter, hingga #ClimateStrike menunjukkan betapa Gen Z menjadi bagian aktif dari perubahan sosial global. Di Indonesia, kesadaran ini termanifestasi dalam bentuk kampanye media sosial, petisi online, konten edukatif, dan komunitas digital yang mendorong kesetaraan, inklusivitas, serta kesadaran mental health.
Kartini dan Gen Z: Titik Temu dan Relevansi
Kartini dan Gen Z bertemu dalam satu titik: kesadaran dan keberanian untuk menyuarakan perubahan. Surat-surat Kartini adalah bentuk kritik sosial dan pencarian identitas yang mirip dengan “thread” panjang di Twitter atau caption Instagram edukatif yang sering kita jumpai dari aktivis muda hari ini.
Kartini tidak hanya menuntut pendidikan bagi perempuan, tetapi juga memperjuangkan hak untuk berpikir, berekspresi, dan menentukan nasib sendiri. Hal ini sejalan dengan semangat Gen Z yang mengusung nilai self-love, self-awareness, dan self-determination. Di balik keberanian digital, Gen Z menemukan cerminan diri dalam sosok Kartini: seorang perempuan muda yang memberontak secara intelektual.
Kartini dan Isu Kekinian
Bila Kartini hidup hari ini, besar kemungkinan ia akan menjadi edukator digital, content creator, atau bahkan influencer yang membicarakan akses pendidikan, kesetaraan gender, dan isu-isu sosial melalui platform seperti TikTok atau Instagram. Topik-topik yang ia suarakan sangat relevan dengan diskursus modern: mental health, diskriminasi struktural, representasi perempuan, serta kritik terhadap sistem sosial yang menindas.
Kartini menulis tentang perasaan terpenjara dalam sistem adat dan kolonial. Kini, Gen Z berbicara tentang tekanan budaya, body shaming, toxic relationship, hingga burnout akibat ekspektasi sosial yang tinggi. Meski konteksnya berbeda, esensinya tetap sama: perjuangan untuk menjadi manusia utuh di tengah sistem yang tidak adil.
Kartini dalam Media Sosial
Bayangkan jika Kartini memiliki akun media sosial. Akankah ia membuat thread edukatif? Video pendek soal sejarah perempuan? Atau podcast dengan aktivis muda? Imajinasi ini bukan sekadar spekulasi, melainkan cara untuk melihat bagaimana nilai-nilai Kartini bisa hidup dan berkembang di dunia digital.
Di Instagram, kita mungkin akan melihat Kartini mengunggah kutipan suratnya dengan latar estetik; di TikTok, ia bisa membahas sejarah perempuan dalam video berdurasi satu menit. Ia mungkin juga ikut berdiskusi lewat Twitter Spaces atau membuat kanal YouTube bertema "Habis Gelap Terbitlah Konten." Media sosial memungkinkan suara Kartini menjangkau lebih luas, dengan format yang lebih dinamis.
Kritik dan Dekonstruksi
Namun, penting juga bagi Gen Z untuk tidak terjebak dalam pemitosan Kartini sebagai pahlawan tunggal. Gerakan emansipasi tidak lahir dari satu orang saja. Ada banyak perempuan lain yang berjuang dalam senyap dan tak tercatat sejarah. Kartini memang ikon, tetapi bukan satu-satunya.
Dekonstruksi terhadap narasi tunggal ini penting untuk memberi ruang bagi keragaman pengalaman perempuan dari berbagai kelas, etnis, dan latar belakang. Gen Z yang melek isu interseksionalitas perlu memperluas tafsir atas perjuangan perempuan, menjadikannya sebagai gerakan kolektif, bukan sekadar perayaan simbolik setiap 21 April.
Menghidupkan Semangat Kartini Hari Ini
Lantas bagaimana menghidupkan semangat Kartini dalam keseharian Gen Z? Jawabannya ada pada aksi: edukasi kritis, gerakan akar rumput, konten digital yang memberdayakan, hingga komunitas yang saling mendukung. Kartini masa kini bisa hadir dalam bentuk ruang aman untuk diskusi gender, kampanye donasi pendidikan, atau platform literasi digital.
Sekolah, kampus, dan media sosial menjadi lahan baru bagi perjuangan. Semangat Kartini hidup dalam setiap individu yang berani melawan diskriminasi, memperjuangkan akses, dan memeluk keberagaman.
Penutup
Kartini bukan sekadar nama yang dikenang setiap April. Ia adalah gagasan, semangat, dan keberanian yang melampaui waktu. Bagi Gen Z, Kartini adalah cermin: tentang perjuangan menjadi diri sendiri dalam dunia yang kadang tak memberi ruang. Dengan teknologi di tangan dan kesadaran di hati, Gen Z memiliki peluang besar untuk melanjutkan, bahkan melampaui, perjuangan Kartini.
Merayakan Kartini bukan hanya soal mengenakan kebaya atau upacara seremonial, tetapi dengan terus menyuarakan keadilan, memperluas akses, dan menciptakan masa depan yang setara—bagi semua.