Kontroversi Pembebasan Lahan Proyek PIK 2 di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Tangerang: Antara Pembangunan dan Hak Masyarakat

Hadi Hartono
By -

Kontroversi Pembebasan Lahan Proyek PIK 2 di Pesisir Pantai Utara Kabupaten Tangerang: Antara Pembangunan dan Hak Masyarakat

Oleh: Hadi Hartono


Abstrak: Proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang berstatus sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Tangerang telah memicu berbagai permasalahan, terutama terkait pembebasan lahan. Artikel ini mengkaji permasalahan tersebut dengan menyoroti aspek sosial, ekonomi, hukum, dan lingkungan. Temuan menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses pembebasan lahan, termasuk harga ganti rugi yang rendah, intimidasi terhadap warga, dan dampak lingkungan yang merugikan masyarakat setempat.

Kata Kunci: PIK 2, pembebasan lahan, Proyek Strategis Nasional, Kabupaten Tangerang, hak masyarakat, dampak lingkungan.




1. Pendahuluan

Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu pilar utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dalam praktiknya, proyek-proyek besar seringkali menimbulkan konflik, terutama ketika melibatkan pembebasan lahan masyarakat. Proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) di Kabupaten Tangerang adalah contoh nyata dari fenomena ini. Meskipun ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), pelaksanaannya menuai berbagai kritik dan keluhan dari masyarakat setempat.


2. Latar Belakang Proyek PIK 2

PIK 2 merupakan proyek pengembangan kawasan terpadu yang mencakup perumahan, komersial, dan pariwisata. Proyek ini dikembangkan oleh konsorsium Agung Sedayu Group dan Salim Group, dengan luas lahan mencapai 1.755 hektar. Pemerintah menetapkan PIK 2 sebagai PSN dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pariwisata di wilayah pesisir utara Tangerang.


3. Permasalahan Pembebasan Lahan

3.1. Harga Ganti Rugi yang Tidak Adil

Banyak warga melaporkan bahwa harga ganti rugi yang ditawarkan oleh pengembang sangat rendah, bahkan di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Beberapa warga mengaku hanya menerima Rp100.000 per meter persegi, jauh dari harga pasar yang seharusnya.


3.2. Intimidasi dan Tekanan terhadap Warga

Proses pembebasan lahan diduga disertai dengan intimidasi terhadap warga. Beberapa laporan menyebutkan adanya tekanan dari aparat desa untuk menjual lahan mereka, dengan ancaman bahwa lahan akan diuruk meskipun belum ada kesepakatan jual beli.


3.3. Pengurukan Lahan Tanpa Persetujuan

Sejumlah warga mengeluhkan bahwa lahan mereka telah diuruk oleh pengembang tanpa adanya kesepakatan atau pembayaran ganti rugi. Tindakan ini tidak hanya melanggar hak kepemilikan warga tetapi juga menyebabkan kerusakan pada lahan pertanian dan tambak yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.


4. Dampak Sosial dan Ekonomi

4.1. Kehilangan Mata Pencaharian

Pembebasan lahan secara masif telah menyebabkan banyak petani dan nelayan kehilangan sumber mata pencaharian mereka. Sawah dan tambak yang selama ini menjadi andalan ekonomi warga telah berubah fungsi menjadi kawasan pembangunan.

4.2. Ketidakpastian Masa Depan

Warga yang kehilangan lahan dan pekerjaan menghadapi ketidakpastian dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kurangnya program relokasi atau pelatihan keterampilan baru memperburuk situasi ini.


5. Dampak Lingkungan

5.1. Banjir dan Kerusakan Ekosistem

Pengurukan lahan dan perubahan fungsi lahan telah menyebabkan peningkatan risiko banjir di wilayah sekitar. Selain itu, kerusakan pada ekosistem pesisir, termasuk hutan mangrove, mengancam keberlanjutan lingkungan di kawasan tersebut.

5.2. Pencemaran dan Gangguan Kesehatan

Aktivitas konstruksi dan lalu lintas kendaraan proyek menyebabkan pencemaran udara dan kebisingan, yang berdampak negatif pada kesehatan masyarakat setempat.


6. Aspek Hukum dan Kebijakan

6.1. Status Kawasan Hutan Lindung

Sebagian besar lahan yang digunakan untuk proyek PIK 2 ternyata masuk dalam kawasan hutan lindung. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas proyek dan kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

6.2. Evaluasi Status PSN

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sedang mengevaluasi status PSN proyek PIK 2, mengingat adanya ketidaksesuaian dengan RTRW dan potensi pelanggaran hukum terkait penggunaan lahan hutan lindung.


7. Tanggapan Pemerintah dan Lembaga Terkait

Ombudsman RI Perwakilan Banten telah menerima berbagai keluhan dari masyarakat terkait proses pembebasan lahan. Mereka menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memastikan bahwa proses ini dilakukan secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.


8. Analisis dan Diskusi

Permasalahan yang muncul dalam proyek PIK 2 mencerminkan ketidakseimbangan antara kepentingan pembangunan dan perlindungan hak masyarakat. Penetapan proyek sebagai PSN seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengabaikan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan partisipatif dalam merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek besar seperti PIK 2.


9. Rekomendasi

  1. Peninjauan Kembali Proses Pembebasan Lahan
  2. Transparansi dan Partisipasi Publik
  3. Kompensasi yang Adil
  4. Perlindungan Lingkungan

10. Kesimpulan

Proyek PIK 2 di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa pembangunan skala besar dapat menimbulkan konflik dan kerugian bagi masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Pentingnya, pembangunan infrastruktur harus sejalan dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kasus PIK 2 menjadi pelajaran penting bahwa status Proyek Strategis Nasional tidak boleh dijadikan tameng untuk melanggar hak warga negara.


11. Studi Kasus dan Kesaksian Warga

11.1. Kesaksian Warga Dadap dan Tanjung Pasir

Beberapa warga di Kelurahan Dadap dan Desa Tanjung Pasir, yang wilayahnya termasuk dalam area pengembangan PIK 2, menyampaikan pengalaman mereka tentang intimidasi dan pemaksaan dalam proses pembebasan lahan.

11.2. Dampak Sosial di Komunitas Nelayan

Komunitas nelayan tradisional mengaku kehilangan akses ke laut karena adanya reklamasi dan pembangunan tanggul.


12. Perspektif Pembangunan Berkelanjutan

12.1. Triple Bottom Line

Pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan aspek keuntungan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

12.2. Good Governance

Keterlibatan masyarakat, transparansi informasi, dan akuntabilitas kebijakan merupakan pilar dari tata kelola yang baik.


13. Telaah Media dan Peran Jurnalisme Investigatif

Laporan dari media seperti Tempo, BBC Indonesia, dan Mongabay menunjukkan pola pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan dalam proyek ini, serta mendorong keterbukaan informasi.


14. Alternatif Solusi dan Jalan Tengah

14.1. Mediasi Melalui Lembaga Independen

14.2. Perencanaan Partisipatif

14.3. Audit Lingkungan dan Sosial


15. Penutup

Proyek PIK 2 adalah contoh nyata dari dilema pembangunan modern. Pemerintah, pengembang, dan masyarakat sipil harus duduk bersama membangun ulang kesepakatan dan visi bersama agar pembangunan benar-benar menghadirkan kesejahteraan, bukan penderitaan.


Daftar Referensi:

  1. Tempo.co (2024)
  2. BBC Indonesia (2023)
  3. Mongabay.co.id (2023)
  4. Kompas.com (2024)
  5. Laporan Ombudsman RI Perwakilan Banten, 2024
  6. UU No. 2 Tahun 2012
  7. World Bank Report (2022)
Tags:

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!