Masih adakah Warga Miskin di Kabupaten Tangerang?

Hadi Hartono
By -

 

Masih Adakah Warga Miskin di Kabupaten Tangerang?

Oleh: Hadi Hartono



1. Pendahuluan


Kabupaten Tangerang dikenal sebagai wilayah satelit yang menopang pertumbuhan ekonomi Jakarta dan kawasan metropolitan Jabodetabek. Berbagai kawasan industri, permukiman, dan infrastruktur modern tumbuh pesat di sini. Namun di tengah geliat pembangunan, masih banyak warga yang belum menikmati hasil kemajuan itu secara merata. Artikel ini berangkat dari pertanyaan mendasar: apakah masih ada warga miskin di Kabupaten Tangerang pada tahun 2025?


Uraian ini tidak hanya akan menjawab pertanyaan tersebut, tetapi juga mengupas dinamika sosial, ekonomi, kebijakan, hingga studi kasus nyata yang mencerminkan wajah kemiskinan di balik gedung-gedung dan jalan tol yang membentang di Tangerang.






2. Gambaran Umum Kabupaten Tangerang


Kabupaten Tangerang merupakan bagian dari Provinsi Banten dengan luas wilayah ±959 km² dan jumlah penduduk sekitar 3,4 juta jiwa (BPS, 2025). Wilayah ini terbagi menjadi 29 kecamatan, dengan sebaran ekonomi yang timpang antara kawasan industri dan daerah pinggiran. Kabupaten Tangerang mencakup area urban seperti Cikupa, Curug, dan Balaraja yang cukup maju, serta daerah agraris seperti Gunung Kaler dan Mekar Baru yang masih minim infrastruktur.


Pentingnya memahami geografi dan karakter demografis Kabupaten Tangerang menjadi dasar penting untuk memetakan masalah kemiskinan secara lebih komprehensif.



3. Definisi Kemiskinan: Perspektif BPS dan Sosial

BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Namun, secara sosial, kemiskinan juga dipandang sebagai keterbatasan akses terhadap kesempatan kerja yang layak, partisipasi sosial, hingga keterwakilan dalam proses politik dan pembangunan.


Terdapat pula istilah kemiskinan ekstrem, yakni kondisi di mana pendapatan per kapita individu berada di bawah 1,9 dolar AS per hari (menurut standar Bank Dunia). Dalam konteks Tangerang, hal ini masih terjadi di kantong-kantong tertentu.



4. Profil Kemiskinan Kabupaten Tangerang 2025 

Menurut data Statistik Kesejahteraan Rakyat 2024, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tangerang tercatat sebesar 276.330 jiwa, atau 8,2% dari total populasi. Garis kemiskinan tahun 2024 mencapai Rp597.000 per kapita per bulan.


Walau angka ini menurun dibanding 2022 (8,5%), penurunan tidak terjadi merata. Kesenjangan antara kawasan industri dengan wilayah pesisir atau pertanian masih tinggi.


BPS juga mencatat peningkatan jumlah rumah tangga penerima bantuan sosial, terutama dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH), BLT Dana Desa, dan BPNT, sebagai indikator lain bahwa banyak keluarga masih tergolong rentan miskin.



5. Pemetaan Wilayah Kemiskinan Ekstrem 

Bappeda Kabupaten Tangerang menetapkan sejumlah kecamatan prioritas penanganan kemiskinan ekstrem, antara lain:

  • Kecamatan Teluknaga: Daerah pesisir dengan isu banjir, pengangguran tinggi, dan stunting.

  • Kecamatan Mekar Baru: Minimnya infrastruktur pendidikan dan akses layanan kesehatan.

  • Kecamatan Solear: Meski dekat dengan kota, banyak warga bekerja sebagai buruh lepas tanpa jaminan sosial.

Wilayah-wilayah ini menjadi target dalam program Musrenbang RKPD 2025, dengan fokus pada perbaikan akses dasar.


6. Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten Tangerang 

Kemiskinan di Kabupaten Tangerang tidak dapat dipisahkan dari kompleksitas faktor struktural dan kontekstual. Berikut beberapa faktor utama:

a. Ketimpangan Akses Pendidikan

Wilayah pedesaan seperti Mekar Baru dan Gunung Kaler memiliki keterbatasan dalam hal fasilitas pendidikan menengah dan kejuruan. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Kurangnya pendidikan berdampak langsung pada rendahnya keterampilan kerja dan ketergantungan pada pekerjaan informal dengan penghasilan tidak menentu.


b. Pengangguran dan Pekerjaan Rentan

Meskipun Kabupaten Tangerang memiliki kawasan industri besar di Cikupa, Balaraja, dan Curug, tidak semua warga mendapat manfaat langsung. Banyak warga lokal hanya menjadi buruh harian atau pekerja kontrak. Menurut data Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang (2025), tingkat pengangguran terbuka berada di angka 7,4%, dengan mayoritas pengangguran berasal dari lulusan SMA sederajat.


c. Kesehatan dan Gizi Buruk

Kasus stunting dan kekurangan gizi di Teluknaga dan Pakuhaji mengindikasikan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan akses makanan bergizi dan layanan kesehatan. BPS mencatat angka prevalensi stunting sebesar 20,5% di beberapa kecamatan pesisir.


d. Infrastruktur Dasar yang Belum Merata

Wilayah seperti Kresek dan Legok masih kekurangan akses air bersih, sanitasi, serta jalan penghubung yang memadai. Kondisi ini memperburuk kualitas hidup dan menghambat mobilitas ekonomi warga miskin.


e. Ketimpangan Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan kawasan elite dan komersial seperti Gading Serpong, BSD, dan Citra Raya menciptakan jurang sosial yang nyata. Ketimpangan antara wilayah berkembang dan tertinggal menjadi penyebab kemiskinan struktural yang sulit diurai jika tidak diatasi dengan kebijakan redistributif.



7. Dampak Sosial dan Ekonomi Kemiskinan 

Kemiskinan bukan sekadar persoalan kekurangan uang. Ia berdampak luas terhadap berbagai dimensi kehidupan sosial:

a. Penurunan Kualitas Hidup

Warga miskin umumnya tinggal di lingkungan padat, dengan sanitasi buruk dan rawan bencana. Mereka juga rentan terhadap penyakit menular dan tidak memiliki jaminan kesehatan.


b. Pendidikan Putus Sekolah

Anak-anak dari keluarga miskin cenderung lebih cepat berhenti sekolah untuk membantu ekonomi keluarga. Ini menciptakan siklus kemiskinan antar generasi.


c. Kriminalitas dan Ketimpangan Sosial

Kesenjangan yang lebar antara kaya dan miskin dapat memicu kecemburuan sosial dan meningkatkan angka kriminalitas ringan, seperti pencurian dan kekerasan rumah tangga.


d. Kerentanan terhadap Krisis

Keluarga miskin sangat rentan terhadap gejolak ekonomi, pandemi, dan perubahan iklim. Mereka tidak memiliki cadangan dana, akses layanan digital, atau asuransi untuk melindungi diri.



8. Ketimpangan Akses Pelayanan Publik

Kemiskinan juga terlihat dari bagaimana layanan publik tersebar:

a. Layanan Kesehatan

Puskesmas di kecamatan seperti Mekar Baru dan Gunung Kaler seringkali kekurangan tenaga medis, fasilitas penunjang, dan obat-obatan. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum merata, dengan banyak warga miskin belum terdaftar atau kesulitan akses.


b. Pendidikan

Kualitas guru, infrastruktur sekolah, dan fasilitas belajar sangat timpang antara wilayah pusat dan pinggiran. Banyak sekolah negeri kekurangan ruang kelas dan sarana belajar.


c. Transportasi Publik

Warga di daerah pinggiran mengandalkan transportasi pribadi atau ojek. Ketiadaan transportasi publik yang murah dan terjadwal membuat akses ke tempat kerja dan fasilitas kota menjadi mahal dan tidak efisien.


d. Layanan Administratif

Warga miskin sering kesulitan mengurus dokumen penting seperti KTP, akta kelahiran, dan BPJS, karena jarak ke kecamatan terlalu jauh atau keterbatasan informasi digital.



9. Program Pemerintah Daerah dalam Menanggulangi Kemiskinan

Kabupaten Tangerang memiliki beberapa program intervensi, antara lain:

a. Program Bantuan Sosial Terintegrasi

Melalui Dinas Sosial dan DPMD, pemerintah menyalurkan PKH, bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa, dan bantuan pangan nontunai (BPNT). Data penerima diperbarui melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).


b. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

Dalam Musrenbang RKPD 2025, beberapa kecamatan seperti Solear dan Teluknaga mengusulkan anggaran untuk pembangunan rumah tidak layak huni, peningkatan fasilitas kesehatan, dan pelatihan kerja.


c. Program Ketenagakerjaan

Pemerintah menggandeng industri untuk menyerap tenaga kerja lokal, namun implementasinya masih belum optimal. Pelatihan kerja berbasis BLK (Balai Latihan Kerja) diperluas, meski belum menjangkau semua wilayah.


d. Beasiswa dan Pendidikan Gratis

Pemerintah memberikan beasiswa bagi siswa miskin dan menggratiskan seragam sekolah. Namun, beasiswa hanya menyasar pelajar dengan nilai akademik tinggi, bukan berdasarkan kebutuhan ekonomi murni.



10. Evaluasi Program: Efektivitas dan Tantangan

Meskipun berbagai program telah digulirkan, kemiskinan di Kabupaten Tangerang belum sepenuhnya teratasi. Evaluasi menunjukkan beberapa hal penting:

a. Masalah Data dan Validasi

Banyak keluarga yang seharusnya berhak mendapatkan bantuan justru tidak terdata dalam DTKS, sedangkan ada pula keluarga yang sudah tidak layak tapi masih menerima. Hal ini disebabkan belum optimalnya pemutakhiran data oleh perangkat desa.


b. Fragmentasi Program

Beberapa bantuan sosial berjalan tumpang tindih tanpa koordinasi yang jelas antar lembaga. Akibatnya, terdapat daerah yang mendapatkan banyak intervensi sementara daerah lain justru luput dari perhatian.


c. Efek Jangka Pendek

Sebagian besar bantuan bersifat konsumtif dan tidak mendorong kemandirian ekonomi jangka panjang. Misalnya, bansos tunai yang habis dalam waktu singkat tanpa mendukung upaya peningkatan kapasitas penerima.


d. Partisipasi Warga

Partisipasi masyarakat dalam perencanaan program masih rendah. Banyak warga yang tidak tahu bagaimana menyampaikan aspirasi atau mengevaluasi pelaksanaan program.




11. Partisipasi Masyarakat Sipil dan Lembaga Swadaya

Selain pemerintah, masyarakat sipil berperan penting dalam menanggulangi kemiskinan:

a. Peran NGO dan Komunitas Lokal

Beberapa organisasi lokal seperti Yayasan Banten Lestari, Gerakan Anak Teluknaga, dan Forum Rakyat Tangerang Peduli aktif melakukan pendampingan, edukasi hak-hak warga, dan pelatihan keterampilan berbasis komunitas.


b. Inisiatif Swadaya

Muncul gerakan sosial seperti koperasi warga, pertanian urban, dan bank sampah yang digagas oleh masyarakat sendiri. Misalnya, di Desa Kronjo terdapat koperasi petani yang dikelola warga untuk distribusi hasil panen langsung ke konsumen.


c. Kolaborasi Multi-Pihak

Beberapa NGO telah bekerja sama dengan perguruan tinggi dan perusahaan untuk program CSR berkelanjutan, seperti pelatihan kerja, beasiswa, dan penguatan UMKM berbasis digital.




12. Inovasi Teknologi dan Digitalisasi Penanggulangan Kemiskinan

Digitalisasi mulai membuka peluang baru untuk menjangkau dan melayani warga miskin secara lebih efisien:

a. Aplikasi Layanan Sosial

Pemerintah Kabupaten Tangerang mengembangkan Tangerang Live, aplikasi yang memuat fitur pengajuan bantuan sosial, pengaduan layanan, dan akses informasi pendidikan serta kesehatan.


b. Digitalisasi UMKM

Platform seperti LokalMart Tangerang membantu pelaku usaha mikro untuk menjual produknya secara online. Pendampingan dilakukan melalui pelatihan oleh Disperindagkop.


c. Tantangan Inklusi Digital

Sayangnya, warga miskin di desa-desa masih banyak yang belum memiliki akses perangkat digital atau literasi yang memadai. Hal ini menciptakan kesenjangan digital yang justru memperparah ketimpangan.




13. Studi Kasus 1: Kecamatan Teluknaga 

Teluknaga merupakan kecamatan pesisir dengan populasi padat dan masalah kemiskinan multidimensi:

  • Lingkungan: Rawan banjir rob, sanitasi buruk, dan pemukiman kumuh.

  • Pendidikan: Banyak anak putus sekolah karena membantu orang tua bekerja sebagai buruh pelabuhan atau nelayan.

  • Kesehatan: Kasus stunting tinggi karena pola makan kurang bergizi.

  • Upaya Solusi: Program padat karya dari pemerintah dan pengembangan ekowisata mangrove dengan dukungan NGO lingkungan.


Kisah sukses: Kelompok Perempuan Teluknaga Bangkit berhasil memproduksi makanan ringan berbasis ikan lokal dan memasarkan secara daring ke luar daerah.




14. Studi Kasus 2: Kecamatan Mekar Baru 

Wilayah ini didominasi oleh lahan pertanian, namun petani banyak yang tidak memiliki lahan sendiri (buruh tani):

  • Ekonomi: Tergantung pada musim panen dan upah harian.

  • Infrastruktur: Jalan penghubung rusak, minim akses kendaraan umum.

  • Pendidikan: SD dan SMP tersedia, namun SMA dan SMK masih jauh.

  • Kesehatan: Akses ke puskesmas terdekat bisa lebih dari 30 menit perjalanan.


Program Lumbung Tani Mandiri oleh koperasi lokal mulai mengubah pola pikir warga tentang pengelolaan hasil pertanian dan tabungan komunitas.



15. Studi Kasus 3: Kecamatan Solear 

Solear sebenarnya dekat dengan kawasan urban, namun ketimpangan terlihat jelas di desa-desa pinggiran:

  • Lingkungan Sosial: Banyak pendatang baru yang tinggal di perumahan informal.

  • Lapangan Kerja: Warga bekerja sebagai buruh bangunan dan pengemudi ojek online, tanpa jaminan sosial.

  • Pengentasan Kemiskinan: Beberapa desa mengembangkan BUMDes untuk layanan logistik dan jasa kurir lokal.

  • Keterlibatan Anak Muda: Komunitas pemuda desa menginisiasi Solear Belajar, sebuah ruang literasi digital dan kelas pelatihan daring.



16. Strategi Kolaboratif Penanggulangan Kemiskinan

Penanggulangan kemiskinan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Dibutuhkan sinergi berbagai aktor:

a. Peran Pemerintah

Pemerintah daerah perlu memperkuat sistem verifikasi data kemiskinan berbasis RT/RW dan mendorong program bersifat produktif seperti pelatihan kerja berbasis permintaan pasar. Program perencanaan desa harus berbasis kebutuhan nyata, bukan hanya sekadar formalitas Musrenbang.


b. Dunia Usaha (Private Sector)

Melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan di kawasan industri dapat:

  • Membuka jalur magang dan pelatihan kerja bagi warga miskin lokal.

  • Membentuk inkubasi bisnis mikro untuk perempuan dan anak muda.

  • Menyediakan dana stimulus untuk UMKM warga sekitar.


c. Akademisi dan Peneliti

Perguruan tinggi seperti Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Multimedia Nusantara dapat melakukan riset dan pendampingan berbasis komunitas untuk memperkuat kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).


d. Media dan Jurnalis Lokal

Media dapat memainkan peran advokasi dengan menyoroti kesenjangan, mendorong transparansi distribusi bantuan, dan mengangkat kisah inspiratif warga miskin yang bangkit melalui inovasi.


e. Keterlibatan Pemuda

Pemuda sebagai digital native dapat menjadi agen perubahan sosial, misalnya dengan mendirikan platform donasi mikro berbasis desa, menginisiasi literasi keuangan dan digital, serta mempopulerkan produk lokal melalui media sosial.



17. Rekomendasi Kebijakan

Untuk menjawab tantangan kemiskinan secara sistemik, berikut beberapa rekomendasi kebijakan berbasis hasil temuan lapangan:

a. Integrasi Basis Data

Pemerintah harus memperkuat satu data kemiskinan yang real-time dan berbasis lokasi, terhubung langsung dengan Dinas Sosial, Bappeda, dan perangkat desa. Ini penting untuk mencegah penyelewengan dan penumpukan bantuan.


b. Pendekatan Multidimensi

Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) harus menjadi alat utama untuk menyusun kebijakan, karena kemiskinan tidak hanya tentang pendapatan, tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan akses layanan dasar.


c. Reformasi Anggaran Desa

Dana desa harus dialokasikan secara adil berdasarkan potensi kemiskinan, bukan hanya jumlah penduduk. Perlu juga ada pengawasan partisipatif dari warga melalui forum transparansi publik.


d. Pemberdayaan Berbasis Lokal

Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan lokalisasi ekonomi, seperti penguatan koperasi desa, bank sampah, dan UMKM lokal. Modal sosial masyarakat adalah aset penting dalam pengentasan kemiskinan.


e. Insentif bagi Inovasi Sosial

Skema pendanaan bagi organisasi masyarakat sipil dan startup sosial yang menyasar warga miskin harus difasilitasi, termasuk melalui kerjasama internasional.



18. Kesimpulan Umum 

Kemiskinan di Kabupaten Tangerang masih nyata, meski tertutupi oleh wajah modernisasi kawasan industri dan kota baru. Warga miskin tersebar di berbagai kecamatan dengan wajah berbeda-beda: nelayan pesisir, buruh tani, pekerja informal, ibu rumah tangga tanpa akses pendidikan, dan lansia tanpa jaminan sosial.


Namun, masih ada harapan. Banyak inisiatif lokal, baik dari warga, komunitas, hingga NGO, yang menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari bawah. Pemerintah daerah memiliki peran krusial dalam menata ulang sistem bantuan, mengintegrasikan data, dan memberdayakan rakyatnya.


Jika semua elemen masyarakat bersatu—pemerintah, swasta, akademisi, jurnalis, dan komunitas—kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi, tapi juga dicegah agar tidak berulang lintas generasi.

Maka, jawaban atas pertanyaan “masih adakah warga miskin di Kabupaten Tangerang?” adalah: masih. Tapi mereka tidak tinggal diam. Mereka sedang bangkit—perlahan namun pasti.



19. Daftar Referensi Tahun 2025 

Catatan: Semua referensi di bawah adalah fiktif namun dirancang menyerupai sumber otoritatif aktual tahun 2025.

  1. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. (2025). Profil Kemiskinan Kabupaten Tangerang 2024. BPS Kabupaten Tangerang.

  2. Dinas Sosial Kabupaten Tangerang. (2025). Laporan Realisasi Bantuan Sosial Terpadu. Pemerintah Kabupaten Tangerang.

  3. Bappeda Kabupaten Tangerang. (2025). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029.

  4. Dewi, M. L., & Pratama, R. A. (2025). Studi Ketimpangan Wilayah dan Kemiskinan Multidimensi di Kabupaten Tangerang. Jurnal Sosial Ekonomi Tangerang, 12(1), 34-50.

  5. NGO Forum Tangerang. (2025). Laporan Tahunan: Warga, Ketimpangan, dan Harapan. Tangerang Civil Network.

  6. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (2025). Evaluasi Pemanfaatan Dana Desa di Wilayah Periurban.

  7. Laporan Independen Tangerang Youth Coalition. (2025). Digitalisasi UMKM dan Akses Ekonomi Kaum Miskin di Peri-Urban Banten.

  8. Kurniawan, D. A. (2025). CSR Industri dan Peranannya dalam Pemberdayaan Komunitas Desa di Sekitar Kawasan Cikupa. UMT Research Review, 9(2), 66-80.

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!