Merebut Kembali Hak Rakyat: Pentingnya Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor untuk Masa Depan Indonesia
Oleh: Hadi Hartono
Pendahuluan
Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit dan deretan angka pertumbuhan ekonomi nasional yang terus dipoles di layar televisi, ada realitas getir yang kerap luput dari perhatian publik: korupsi. Ia bukan sekadar penyakit birokrasi, melainkan parasit sistemik yang menggerogoti nyaris semua sendi kehidupan bangsa. Korupsi di Indonesia bukan cerita baru, tapi ironi lama yang terus berulang. Namun ironisnya, meski puluhan koruptor telah dijebloskan ke penjara, harta hasil kejahatan mereka nyaris selalu "lolos" dari jerat hukum.
Inilah akar masalahnya: selama hukum hanya menghukum pelaku, bukan merampas hasil kejahatannya, korupsi akan tetap menjadi bisnis yang menguntungkan. Di sinilah peran penting sebuah Undang-Undang yang belum juga lahir — UU Perampasan Aset Koruptor.
Korupsi: Masalah Klasik yang Berekor Panjang
Korupsi adalah racun yang diam-diam menghancurkan sendi negara. Ketika seorang pejabat menggelapkan dana proyek infrastruktur, bukan hanya anggaran yang hilang, melainkan juga hilangnya harapan masyarakat akan jalan yang aman, sekolah yang layak, dan pelayanan publik yang manusiawi. Korupsi adalah musuh pembangunan.
Di Indonesia, korupsi bukan hanya dilakukan oleh segelintir individu, melainkan telah menjadi fenomena sistemik yang melibatkan jaring kekuasaan, pengusaha, hingga aparatur negara. Lebih buruk lagi, setelah proses hukum selesai, harta hasil korupsi sering kali tetap aman, tersembunyi di rekening luar negeri, properti mewah, atau aset digital yang sulit dilacak.
Mengapa Koruptor Tak Pernah Jera?
Banyak yang mengira bahwa hukuman penjara sudah cukup membuat koruptor jera. Sayangnya, kenyataan berbicara sebaliknya. Hukuman badan tidak menyentuh akar motivasi korupsi, yaitu keinginan untuk menimbun kekayaan. Di banyak kasus, koruptor hanya menjalani hukuman ringan, lalu keluar dari penjara untuk menikmati kekayaan haram yang disembunyikan sebelum tertangkap.
Karena itu, selama hukum hanya menghukum orangnya, bukan mengambil hartanya, korupsi akan tetap hidup, bahkan berkembang lebih canggih. Itulah kenapa Indonesia membutuhkan perangkat hukum yang mampu memutus mata rantai ini: UU Perampasan Aset.
Apa Itu UU Perampasan Aset?
Secara sederhana, UU Perampasan Aset adalah hukum yang memberi negara kewenangan untuk menyita harta hasil kejahatan tanpa harus bergantung pada vonis pidana. UU ini akan melengkapi sistem hukum pidana yang selama ini fokus pada pelaku, dengan memberi negara instrumen untuk memulihkan kerugian publik.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura telah lama menerapkan sistem ini. Hasilnya, koruptor tidak hanya dipenjara, tetapi juga kehilangan seluruh aset hasil kejahatannya — sehingga tidak ada lagi motif untuk korupsi.
Studi Kasus Internasional: Pembelajaran Penting
Di Singapura, korupsi dianggap sebagai kejahatan berat dan pemerintah tidak segan menggunakan kekuatan hukum untuk memburu dan merampas aset dari tangan koruptor. Hukum ini bahkan berlaku bagi siapapun, termasuk pejabat tinggi negara. Begitu pula di Amerika Serikat, di mana "civil asset forfeiture" memungkinkan negara untuk menyita properti atau aset yang diyakini berasal dari tindak pidana, bahkan tanpa proses pidana yang selesai di pengadilan.
Keberhasilan mereka menjadi bukti, bahwa perampasan aset bukan hanya efektif, tetapi juga adil, asalkan disertai dengan proses hukum yang transparan dan akuntabel.
Mengembalikan Hak Rakyat: Memulihkan Keadilan Ekonomi
Korupsi menghisap dana publik yang seharusnya digunakan untuk membangun bangsa. UU Perampasan Aset adalah alat negara untuk merebut kembali apa yang menjadi hak rakyat. Dana hasil sitaan bisa dialihkan ke sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Bayangkan jika setiap rupiah hasil korupsi yang berhasil dirampas, diinvestasikan untuk membangun sekolah di pelosok atau menyediakan fasilitas kesehatan gratis. Keuntungan ekonomi dan sosial yang dihasilkan jauh lebih besar daripada sekadar memenjarakan pelakunya.
Menjawab Tantangan Hukum dan HAM
Sebagian pihak khawatir bahwa UU Perampasan Aset akan melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas kepemilikan pribadi. Namun, dalam banyak negara, perampasan aset hanya dilakukan jika ada bukti kuat bahwa aset tersebut berasal dari hasil kejahatan. Prinsip ini justru menjaga keseimbangan antara hak individu dan hak publik atas keadilan.
Lebih dari itu, keadilan bukan hanya soal menghormati hak individu, tapi juga tentang memastikan bahwa negara tidak membiarkan hasil kejahatan dinikmati oleh pelaku.
Roadmap Legislasi: Langkah Konkret Menuju UU Perampasan Aset
Pembentukan UU Perampasan Aset harus menjadi prioritas nasional. Rancangan undang-undang ini sebaiknya mencakup prinsip:
-
Pembuktian terbalik — koruptor wajib membuktikan asal usul hartanya.
-
Penyitaan berbasis bukti keuangan dan forensik digital.
-
Transparansi pengelolaan aset yang disita.
-
Alokasi hasil sitaan untuk kepentingan publik.
Tanpa langkah berani ini, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus korupsi yang merugikan semua pihak, kecuali para pelaku kejahatan.
Kesimpulan: Menuju Indonesia Tanpa Korupsi
Korupsi bukanlah nasib, tetapi akibat dari ketidaktegasan hukum dan kelemahan sistem pengawasan. UU Perampasan Aset adalah jawaban atas celah hukum yang selama ini dinikmati para koruptor. Dengan mengesahkan undang-undang ini, Indonesia tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga merebut kembali hak-hak rakyat yang selama ini dirampas secara tidak sah.
Tidak cukup hanya memenjarakan koruptor, negara harus berani mengambil langkah tuntas: merampas hasil kejahatannya untuk membiayai masa depan yang lebih adil. Sebab keadilan sejati bukan hanya menghukum yang bersalah, melainkan juga memulihkan kerugian yang diderita korban — dalam hal ini, seluruh rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka
-
Alatas, Syed Hussein. (1999). Corruption and the Destiny of Asia. Petaling Jaya: Prentice-Hall.
-
Andriani, Luciana & Ashman, Sam. (2022). "The Politics of Corruption and Asset Recovery: A Global Review." Journal of Development Studies, 58(3), 456-471.
-
Indonesian Corruption Watch (ICW). (2022). Laporan Tahunan Tren Korupsi Indonesia Tahun 2021. Jakarta: ICW.
-
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Kajian Regulasi dan Praktik Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK RI.
-
Levi, Michael & Reuter, Peter. (2006). "Money Laundering." Crime and Justice: A Review of Research, Vol. 34, pp. 289-375.
-
Macaulay, Fiona. (2006). "Justice Without the Rule of Law? The Challenge of Rights-Based Approaches to Development." Development Policy Review, 24(6), 701-720.
-
OECD. (2021). Asset Recovery Handbook: A Guide for Practitioners. Paris: OECD Publishing.
https://www.oecd.org/corruption/asset-recovery-handbook.htm -
Transparency International. (2022). Global Corruption Report: Asset Recovery and Anti-Money Laundering. Berlin: Transparency International.
https://www.transparency.org/en/gcr -
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). (2021). The State of Implementation of the United Nations Convention Against Corruption: Criminalization, Law Enforcement and International Cooperation. Vienna: UNODC.
https://www.unodc.org/unodc/en/corruption/ -
Zgonjanin, Sanja. (2007). "Legal and Practical Challenges in Asset Recovery." International Journal of Comparative and Applied Criminal Justice, 31(1), 31-48.
*) Pemerhati Kebijakan Publik