Modus Operandi dan Dampak Korupsi di LPEI: Analisis Kritis
Oleh: Hadi Hartono
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Korupsi telah lama menjadi persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan dan lembaga negara di Indonesia. Salah satu bidang yang sangat rentan terhadap praktik korupsi adalah sektor keuangan negara, terutama dalam pemberian fasilitas pembiayaan. Kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan contoh konkret dari penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian besar bagi keuangan negara. Skandal ini menjadi sorotan publik karena melibatkan nominal fantastis dan memperlihatkan celah dalam pengawasan internal lembaga keuangan negara.
LPEI sebagai lembaga yang memiliki mandat strategis untuk mendukung ekspor nasional melalui pembiayaan, penjaminan, dan asuransi ekspor, memiliki posisi penting dalam perekonomian. Namun, justru di tengah kepercayaan besar yang diberikan negara, ditemukan penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara hingga mencapai potensi Rp11,7 triliun. Hal ini menjadi preseden buruk dan mengundang pertanyaan besar: bagaimana sistem yang seharusnya ketat bisa dilompati begitu saja oleh para pelaku?
Rumusan Masalah
-
Bagaimana modus operandi korupsi di LPEI dapat terjadi secara sistematis?
-
Apa saja dampak yang ditimbulkan dari kasus korupsi ini terhadap ekonomi, sosial, dan institusi negara?
-
Apa pelajaran dan rekomendasi kebijakan yang bisa diambil dari kasus ini?
Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk:
-
Menguraikan modus operandi korupsi yang terjadi di tubuh LPEI.
-
Menganalisis dampak jangka pendek dan jangka panjang dari kasus ini terhadap berbagai sektor.
-
Memberikan tinjauan kritis serta rekomendasi berbasis data untuk mendorong perbaikan sistem dan tata kelola lembaga keuangan negara.
Metodologi
Tulisan ini disusun berdasarkan studi pustaka dan analisis kualitatif terhadap berbagai sumber data sekunder, seperti laporan resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pemberitaan media nasional, serta referensi dari jurnal akademik terkait tata kelola dan antikorupsi.
Signifikansi Penulisan
Kajian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat luas dalam memahami pola korupsi di lembaga keuangan negara serta memberikan kontribusi dalam mendorong reformasi kelembagaan secara sistemik. Dengan pendekatan ilmiah populer, tulisan ini juga dimaksudkan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas dalam membangun kesadaran dan kontrol publik terhadap pengelolaan keuangan negara.
PROFIL DAN PERAN STRATEGIS LPEI
Sejarah Singkat dan Dasar Hukum
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan lembaga keuangan khusus milik negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Lembaga ini sering disebut juga sebagai Indonesia Eximbank, dan bertujuan untuk mendukung kebijakan ekspor nasional melalui pembiayaan yang kompetitif dan inovatif.
Lahirnya LPEI merupakan respon terhadap kebutuhan untuk memperkuat daya saing ekspor Indonesia di tengah persaingan global yang semakin ketat. Sebelum menjadi LPEI, fungsi pembiayaan ekspor dijalankan oleh Bank Ekspor Indonesia (BEI), yang kemudian dilebur untuk memperluas fungsi dan kewenangannya.
Tugas Pokok dan Fungsi LPEI
LPEI memiliki mandat utama untuk menyediakan:
-
Pembiayaan ekspor nasional, baik dalam bentuk kredit modal kerja maupun investasi kepada eksportir.
-
Penjaminan ekspor, untuk memitigasi risiko gagal bayar oleh pembeli luar negeri.
-
Asuransi ekspor, sebagai proteksi terhadap risiko politik dan komersial dalam perdagangan internasional.
Dalam praktiknya, LPEI membiayai berbagai sektor industri strategis, termasuk energi, pertanian, manufaktur, dan kelautan, yang berpotensi memperluas akses pasar Indonesia ke dunia internasional.
Struktur Kelembagaan dan Akses Dana
LPEI berada di bawah koordinasi Kementerian Keuangan dan memiliki akses langsung terhadap dana negara, termasuk penyertaan modal negara (PMN) dan penjaminan pemerintah. Oleh karena itu, LPEI memegang peran strategis sebagai agent of development, bukan sekadar lembaga profit-oriented.
Struktur internal LPEI terdiri dari Dewan Direktur yang ditunjuk oleh pemerintah, serta pengawasan eksternal oleh auditor negara dan Dewan Pengawas yang bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia.
Kontribusi LPEI terhadap Ekonomi Nasional
LPEI telah memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia. Hingga tahun 2022, lembaga ini telah menyalurkan lebih dari Rp200 triliun dalam bentuk pembiayaan ekspor, serta membiayai lebih dari 500 proyek ekspor strategis di berbagai daerah. Dukungan ini sangat penting terutama bagi eksportir kecil dan menengah yang sering kesulitan mengakses pembiayaan dari perbankan komersial.
Tantangan yang Dihadapi
Meskipun memiliki mandat besar, LPEI menghadapi berbagai tantangan serius:
-
Kurangnya integrasi sistem pengawasan internal.
-
Potensi konflik kepentingan dalam proses persetujuan kredit.
-
Tekanan politik atau bisnis dalam pemilihan debitur strategis.
Ketika pengawasan tidak optimal, celah tersebut menjadi pintu masuk terjadinya penyimpangan seperti yang ditemukan dalam kasus pembiayaan fiktif kepada PT Petro Energy. Hal ini menjadi titik lemah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum internal maupun pihak luar untuk kepentingan pribadi.
KRONOLOGI DAN MODUS OPERANDI KORUPSI DI LPEI
3.1 Kronologi Kasus: Fasilitas Kredit ke PT Petro Energy
Kasus korupsi yang terjadi di LPEI mencuat ke publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi dalam penyaluran fasilitas kredit kepada PT Petro Energy (PT PE). Fasilitas kredit tersebut diberikan dalam tiga tahap antara tahun 2015 hingga 2017:
-
2 Oktober 2015 – Kredit sebesar Rp297 miliar
-
19 Februari 2016 – Kredit sebesar Rp400 miliar
-
14 September 2017 – Kredit sebesar Rp200 miliar
Total kredit yang disalurkan kepada PT PE mencapai Rp988,5 miliar. Namun, berdasarkan audit dan penyidikan, dana tersebut digunakan tidak sesuai peruntukannya dan menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar.
3.2 Penolakan Internal yang Diabaikan
Yang mencengangkan, sebelum kredit disalurkan, tim analis internal LPEI sebenarnya telah memberikan peringatan keras terhadap kelayakan PT PE. Beberapa catatan penting yang diabaikan antara lain:
-
Rasio lancar (current ratio) PT PE hanya 0,86, menunjukkan likuiditas yang sangat rendah.
-
Laporan keuangan perusahaan menunjukkan indikasi ketidakmampuan bayar.
-
Tidak adanya jaminan atau agunan yang memadai.
Namun, peringatan tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan Dewan Direktur LPEI. Kredit tetap disalurkan, menunjukkan adanya proses persetujuan yang dipaksakan dan melabrak prinsip kehati-hatian perbankan.
3.3 Modus Operandi: Pola Sistematis Korupsi
Modus operandi yang teridentifikasi dari hasil penyidikan KPK menunjukkan pola korupsi yang terstruktur dan sistematis:
1. Manipulasi Dokumen
PT PE memalsukan dokumen seperti:
-
Invoice dan purchase order fiktif
-
Laporan keuangan yang telah di-'window dressing' (dihias agar tampak sehat)
2. Persetujuan Kredit Tanpa Justifikasi Layak
Meskipun secara teknis dan legal tidak layak, Direktur Pelaksana I dan IV LPEI tetap menyetujui kredit, diduga karena adanya kolusi dengan pihak PT PE.
3. Pengalihan Dana
Setelah dana cair, sejumlah besar dana diduga digunakan untuk kegiatan di luar ekspor, termasuk pembayaran utang dan investasi pribadi, bukan untuk proyek ekspor sebagaimana tertulis dalam proposal kredit.
4. Kerja Sama Antar Pihak
Kasus ini tidak berdiri sendiri. Koneksi antara pejabat LPEI dan manajemen PT PE menunjukkan adanya pola kemitraan koruptif yang dirancang untuk memanipulasi sistem perbankan LPEI.
3.4 Para Tersangka dan Perannya
KPK menetapkan lima tersangka kunci:
-
Dwi Wahyudi – Direktur Pelaksana I LPEI
-
Arif Setiawan – Direktur Pelaksana IV LPEI
-
Jimmy Masrin – Komisaris Utama PT PE
-
Newin Nugroho – Direktur Utama PT PE
-
Susy Mira Dewi Sugiarta – Direktur Keuangan PT PE
Mereka dituduh bekerja sama dalam menyusun skema kredit palsu dan penggelapan dana. Dalam penyidikan lanjutan, KPK juga menyita sejumlah aset bernilai tinggi, termasuk kendaraan mewah, properti, dan uang tunai dari para tersangka.
3.5 Analisis Awal
Kasus ini memperlihatkan bahwa:
-
Peringatan internal bisa diabaikan jika tata kelola lemah.
-
Korupsi di lembaga keuangan bisa dilakukan secara korporatif — tidak hanya individu, tetapi jaringan yang sistemik.
-
Modus manipulasi dokumen dan kerja sama lintas institusi masih menjadi celah utama korupsi di Indonesia.
DAMPAK KORUPSI: EKONOMI, SOSIAL, DAN INSTITUSIONAL
Kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bukan sekadar soal pelanggaran hukum, tetapi juga berdampak sistemik terhadap berbagai sektor. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, penyimpangan di lembaga keuangan publik dapat menimbulkan efek berantai yang merugikan tidak hanya dari segi fiskal, tapi juga sosial dan kelembagaan.
4.1 Dampak Ekonomi
a. Kerugian Negara yang Fantastis
Berdasarkan hasil audit dan penyelidikan, potensi kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp11,7 triliun. Ini merupakan angka yang sangat besar, setara dengan:
-
Anggaran tahunan satu provinsi di Indonesia.
-
Ribuan proyek UMKM atau infrastruktur desa yang tidak jadi terlaksana.
Kerugian ini tidak hanya menyangkut dana yang raib, tetapi juga biaya kesempatan (opportunity cost) atas hilangnya manfaat ekonomi dari pembiayaan ekspor yang semestinya diterima oleh eksportir sungguhan.
b. Gangguan terhadap Sistem Pembiayaan Ekspor
Ketika LPEI mengalami kerugian besar akibat korupsi, kapasitasnya untuk menyalurkan pembiayaan pada periode-periode berikutnya ikut terganggu. Akibatnya, banyak pelaku ekspor yang kredibel—terutama UMKM—tidak bisa mengakses modal. Ini menimbulkan kesenjangan ekonomi dan memperlambat pertumbuhan sektor ekspor non-migas.
c. Penurunan Kepercayaan Investor
Korupsi di lembaga strategis seperti LPEI menciptakan sentimen negatif di mata investor asing, terutama yang mengandalkan jaminan pembiayaan ekspor. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko mengurangi minat investasi, karena kredibilitas lembaga pembiayaan Indonesia dinilai lemah dalam tata kelola.
4.2 Dampak Sosial
a. Erosi Kepercayaan Publik
Skandal LPEI memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, khususnya yang mengelola dana publik. Ketika masyarakat melihat bahwa dana negara dengan mudah dikorupsi oleh elit, muncul sikap apatis terhadap partisipasi publik dan demokrasi.
b. Ketimpangan Sosial dan Moral Hazard
Dana publik yang seharusnya dinikmati rakyat luas, malah dinikmati oleh segelintir elite. Hal ini memperparah ketimpangan sosial, dan menciptakan preseden buruk di mana integritas dianggap tidak menguntungkan. Di sisi lain, pelaku usaha yang jujur akan merasa dirugikan karena kalah bersaing dengan koruptor yang menggunakan dana negara untuk keuntungan pribadi.
c. Penurunan Motivasi SDM Lembaga Publik
Pegawai atau analis internal yang telah menyuarakan penolakan, tapi diabaikan, berisiko mengalami demoralisasi. Ini menciptakan iklim kerja yang tidak sehat di lembaga publik dan menurunkan motivasi untuk bekerja sesuai prinsip integritas.
4.3 Dampak Institusional
a. Melemahnya Kredibilitas LPEI
Skandal ini menjadikan LPEI sebagai contoh buruk bagi lembaga keuangan negara. Kredibilitasnya sebagai penyedia pembiayaan ekspor menurun drastis, baik di dalam negeri maupun di mata lembaga internasional.
b. Ancaman Sistemik ke Lembaga Serupa
Jika pola korupsi di LPEI tidak segera ditangani secara struktural, maka lembaga serupa seperti PT SMI, PIP, atau LPDB KUMKM bisa mengalami risiko serupa. Ini menunjukkan bahwa korupsi bukan sekadar persoalan personal, tetapi ancaman sistemik terhadap lembaga-lembaga pembangunan nasional.
c. Meningkatnya Beban Pemerintah
Akibat dari kasus ini, pemerintah harus menyusun skema restrukturisasi atau bailout secara tak terduga. Artinya, dana publik yang semestinya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan justru terserap untuk menambal kebocoran yang timbul dari perilaku koruptif.
TINJAUAN KRITIS DAN KOMPARASI KASUS SERUPA
5.1 Tinjauan Kritis: Dimana Letak Kegagalan Sistem?
Kasus korupsi di LPEI bukan sekadar pelanggaran personal, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan lembaga keuangan negara. Beberapa titik kritis yang menjadi sumber masalah antara lain:
a. Lemahnya Tata Kelola Internal
Meskipun LPEI memiliki sistem manajemen risiko dan komite kredit, ternyata fungsi ini tidak dijalankan secara efektif. Rekomendasi analis kredit diabaikan, dan tidak ada sanksi struktural terhadap pelanggaran prosedur. Ini menunjukkan lemahnya kultur kepatuhan (compliance culture).
b. Konflik Kepentingan dalam Struktur Pengambilan Keputusan
Terlalu kuatnya wewenang Direksi tanpa pengawasan yang efektif dari Dewan Pengawas membuka celah penyalahgunaan. Model ini rawan digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, apalagi jika pejabat memiliki hubungan tidak formal dengan pihak eksternal seperti debitur.
c. Tidak Ada Sistem Whistleblowing yang Aman
Padahal LPEI menangani triliunan dana publik, namun tidak ada sistem pelaporan internal (whistleblowing) yang aman dan melindungi pelapor. Akibatnya, pegawai yang mengetahui penyimpangan memilih diam atau takut melapor.
5.2 Komparasi: Kasus Serupa di Indonesia
Kasus LPEI mengingatkan pada beberapa skandal keuangan BUMN sebelumnya:
a. Jiwasraya (2019)
Perusahaan asuransi negara ini juga mengalami kerugian hingga Rp16,8 triliun akibat investasi fiktif dan rekayasa laporan keuangan. Modus yang mirip: persetujuan investasi tidak prudent, kolusi internal, dan manipulasi data.
b. Asabri (2020)
Kerugian negara mencapai Rp23 triliun. Modus: penempatan investasi ke saham gorengan oleh oknum direksi bekerja sama dengan pihak luar.
Kesamaan Pola:
-
Wewenang direksi sangat kuat.
-
Proses due diligence formalitas.
-
Kolusi pejabat internal dan eksternal.
-
Lemahnya pengawasan institusional dan publik.
5.3 Komparasi Internasional: Kasus Brazil dan Malaysia
a. Skandal BNDES (Brazilian Development Bank)
Di Brazil, lembaga pembiayaan ekspor BNDES juga pernah tersandung kasus korupsi saat memberikan pembiayaan ke perusahaan minyak Petrobras. Modusnya hampir sama: proyek fiktif, kolusi antara pejabat bank dan korporasi, serta suap untuk memuluskan pinjaman.
b. 1MDB (Malaysia)
Kasus 1MDB di Malaysia adalah salah satu mega-korupsi paling terkenal. Melibatkan lembaga keuangan negara yang mengelola dana investasi, dana publik dialihkan ke rekening pribadi pejabat dan pengusaha. Total kerugian negara diperkirakan lebih dari USD 4,5 miliar.
Pembelajaran:
-
Negara berkembang dengan kelemahan pengawasan sering menjadi ladang empuk korupsi berbasis lembaga keuangan negara.
-
Transparansi dan partisipasi publik terbukti mampu menekan penyimpangan, seperti terlihat dalam reformasi antikorupsi di negara Nordik dan Singapura.
5.4 Refleksi
Dari kasus LPEI dan komparasi global, muncul satu kesimpulan penting: korupsi di lembaga keuangan negara bukan masalah teknis semata, tapi masalah politik dan budaya kelembagaan. Diperlukan intervensi sistemik, bukan hanya sanksi hukum, untuk menciptakan lembaga yang bersih dan akuntabel.
REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN REFORMASI SISTEMIK
6.1 Urgensi Reformasi Total Lembaga Keuangan Negara
Kasus korupsi di LPEI memperlihatkan bahwa reformasi kelembagaan tak bisa ditunda. Dalam konteks lembaga yang mengelola dana publik besar seperti LPEI, reformasi bukan hanya untuk memulihkan kepercayaan, tapi juga untuk menjamin keberlanjutan program ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional.
6.2 Rekomendasi Reformasi Internal LPEI
a. Penguatan Fungsi Manajemen Risiko dan Internal Audit
-
Fungsi pengawasan harus ditingkatkan statusnya dari sekadar “checklist” menjadi “gatekeeper”.
-
Tim audit dan manajemen risiko wajib independen dari struktur direksi.
-
Audit berbasis digital dengan jejak digital (audit trail) harus dikembangkan.
b. Reformasi Mekanisme Kredit
-
Seluruh proses kredit harus melalui sistem scoring berbasis data dan algoritma, meminimalisir intervensi manual.
-
Persetujuan kredit strategis harus melibatkan pihak ketiga independen.
c. Optimalisasi Whistleblower System
-
Perlu dibentuk sistem pelaporan pelanggaran yang aman dan anonim.
-
Pelapor internal harus diberi perlindungan hukum dan insentif moral.
6.3 Reformasi Eksternal dan Tata Kelola Negara
a. Transparansi dan Akuntabilitas Publik
-
LPEI wajib menerapkan prinsip keterbukaan informasi: dokumen pembiayaan strategis harus dapat diakses oleh publik dan media.
-
Audit kinerja harus dilakukan oleh lembaga eksternal independen, bukan hanya oleh BPKP atau Kementerian Keuangan.
b. Pembentukan Otoritas Pengawas Khusus Lembaga Keuangan Negara
-
Lembaga seperti LPEI, PT SMI, LPDB KUMKM, dan lain-lain, perlu diawasi oleh otoritas khusus di bawah presiden, terpisah dari kementerian teknis.
-
Struktur pengawasan harus bersifat kolektif dan multistakeholder (akademisi, masyarakat sipil, profesional keuangan).
c. Kolaborasi dengan KPK dan BPK
-
KPK harus aktif mengaudit proses perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan strategis, bukan hanya setelah terjadi pelanggaran.
-
BPK perlu fokus pada audit kinerja dan tata kelola, bukan hanya laporan keuangan.
6.4 Reformasi Budaya Organisasi
a. Budaya Etika dan Kepemimpinan Bersih
-
Direksi LPEI dan lembaga keuangan negara harus mengikuti pelatihan kepemimpinan antikorupsi secara berkala.
-
Nilai-nilai integritas harus dimasukkan ke dalam KPI (Key Performance Indicator) pejabat.
b. Rotasi dan Pembatasan Jabatan
-
Pembatasan masa jabatan direksi dan evaluasi berkala oleh otoritas independen untuk mencegah akumulasi kekuasaan.
c. Inovasi Teknologi Anti-Fraud
-
Penggunaan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi transaksi mencurigakan secara otomatis.
6.5 Dukungan Legislasi dan Kebijakan Publik
a. Revisi UU No. 2 Tahun 2009
-
Undang-undang pembentukan LPEI harus direvisi untuk mengakomodasi prinsip-prinsip good governance dan transparansi publik.
b. Peran DPR dalam Pengawasan
-
Komisi XI DPR harus aktif mengevaluasi kinerja dan pengeluaran LPEI secara reguler melalui forum terbuka.
6.6 Implikasi Positif Jika Rekomendasi Dijalankan
Jika reformasi dilakukan secara menyeluruh:
-
LPEI akan menjadi pilar kuat ekspor nasional dan daya saing global.
-
Kepercayaan pelaku usaha, investor, dan masyarakat terhadap negara akan meningkat.
-
Indonesia akan memiliki model lembaga keuangan negara yang profesional, bersih, dan berkelanjutan.
7.1 Kesimpulan Umum
Kasus korupsi yang menimpa Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) menjadi cermin buram pengelolaan keuangan negara yang masih lemah dalam hal tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas. Modus operandi yang dilakukan, mulai dari rekayasa pembiayaan hingga manipulasi dokumen, mencerminkan pola sistemik yang telah berlangsung lama namun luput dari pengawasan efektif.
Korupsi di LPEI tidak hanya menimbulkan kerugian finansial negara sebesar Rp11,7 triliun, tetapi juga menyebabkan dampak berantai: terganggunya akses pembiayaan bagi eksportir, rusaknya kredibilitas lembaga publik, menurunnya kepercayaan masyarakat, serta melemahnya legitimasi negara dalam mengelola dana publik.
Tinjauan terhadap kasus serupa di dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa korupsi di lembaga keuangan negara adalah persoalan global, terutama di negara-negara berkembang. Namun demikian, negara-negara yang berhasil keluar dari jebakan ini umumnya menempuh jalur reformasi menyeluruh, bukan sekadar penegakan hukum reaktif.
7.2 Penegasan Kritis
Kasus LPEI tidak bisa ditangani secara parsial. Ia harus menjadi momentum bagi:
-
Pembersihan sistemik dan reformasi kelembagaan,
-
Peningkatan partisipasi publik dan pengawasan sipil,
-
Penerapan teknologi digital untuk mendeteksi dan mencegah fraud sejak dini, dan
-
Pembangunan budaya etika di lembaga negara yang berorientasi pada integritas, bukan hanya pencapaian angka kredit.
7.3 Harapan dan Jalan ke Depan
Indonesia berada pada titik krusial: apakah korupsi di LPEI akan berakhir sebagai kasus hukum biasa, atau menjadi awal dari reformasi serius terhadap lembaga keuangan negara?
Harapan publik tentu tertuju pada:
-
Pemerintah dan DPR untuk berani melakukan legislasi ulang dan pengawasan terbuka,
-
KPK untuk terus mengusut tuntas kasus ini sampai ke akar-akar jejaring kekuasaan,
-
Masyarakat sipil, media, dan akademisi untuk aktif mengawal dan memberi tekanan konstruktif.
7.4 Penutup
Jika Indonesia ingin mewujudkan visi sebagai negara maju dengan fondasi ekonomi kuat dan adil, maka tidak ada pilihan lain selain menjadikan kasus korupsi LPEI sebagai pelajaran, bukan pengulangan. Perbaikan tata kelola bukan hanya tugas pejabat, tapi tanggung jawab kolektif semua warga negara.
Referensi:
-
UU No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang LPEI
Laporan BPK & BPKP Tahun 2023–2024
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Kajian Sektor Pembiayaan Negara
World Bank (2022): Governance and Anti-Corruption Diagnostic
Data dan berita dari Kompas, Tempo, CNBC Indonesia, dan Katadata
Laporan Tahunan LPEI 2021 dan 2022.
-
Kementerian Keuangan Republik Indonesia – www.kemenkeu.go.id
-
Indonesia Eximbank Official Website – www.indonesiaeximbank.go.id
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rilis pers 2024–2025.
Kompas.id, “Potensi Kerugian Negara Kasus LPEI Capai Rp11,7 Triliun”.
Merdeka.com, “KPK Tetapkan 5 Tersangka Kasus LPEI”.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan BPKP, Laporan Pemeriksaan Khusus 2024
KPK, “Paparan Dugaan Korupsi Kredit LPEI” (2024)
Kompas.id, “Kredit Ekspor LPEI Diduga Bermasalah” (2024)
Laporan BPK: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I – 2024
Transparency International, Global Corruption Report 2024
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Laporan Keuangan Asabri dan Jiwasraya
Transparency International (2023): State Capture and Public Finance
OECD: Anti-Corruption Frameworks in SOEs
The Wall Street Journal, “How 1MDB Became a Global Financial Scandal
OECD (2023): Strengthening Governance in State-Owned Enterprises
KPK: “Strategi Nasional Pencegahan Korupsi”
Transparency International: Public Sector Integrity Framework
Bappenas: “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024”